Transplantasi adalah pemindahan jaringan atau organ dari tempat
satu ke tempat yang lain, bisa dari tubuh atau dari tubuh yang lain.
Transplantasi jaringan, seperti pencangkokan cornea mata dan transplantasi
organ seperti pencangkokan ginjal, jantung, dan lain-lain.
Dalam pelaksanaannya transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang
terkait dengannya : pertama, donor yakni orang yang menyumbangkan organ
tubuhnya yang masih sehatuntuk dipasangkan padaorang lain yang organ tubuhnya
menderita sakit, atau terjadi kelainan. Kedua, resipien ialah orang yang
menerima organ tubuh dari donor yang karena satu dan lain hal, organ tubuhnya
harus diganti. Ketiga, tim ahli yaitu para dokter yang menangani operasi
transplantasi dari pihak donor kepada resipien.[1]
Dilihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau
organ yang diplantasikan) dan resipien (orang yang menerima pindahan jaringan
atau organ) ada tiga macam :
1.
Auto Transplantasi, yaitu
transplantasi dimana donor dan resipiennya satu individu.
2.
Homo Transplantasi
yaitu transplantasi dimana donor dan resipiennya terdiri dari individu yang
sama jenisnya. Pada transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dua
individu yang masih hidup, bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal
dunia yang disebut dengan cavader donor.
3.
Hetero Transplantasi,
yaitu transplantasi yang donor dan resipiennya berlainan jenisnya seperti
transplansi yang donornya hewan dan resipiennya manusia
Ada beberapa kemungkinan yang terjadi pada homo transplantation ini
diantaranya :
1.
Apabila resipien dan donor berasal dari telur seperti saudara
kembar, transplantasi tidak banyak menyebabkan reaksi penolakan. Boleh jadi ini
mirip dengan auto-transplantation.
2.
Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah
satunya dari orang tuanya, kemungkinan reaksi penolakan cukup besar.
3.
Apabila resipien dan donor tidak ada hubungan saudara, kemungkinan
reaksinya cukup besar.[2]
Dalam konteks transplantasi ginjal donor jenazah, dilihat dari
kemudahan mendapatkannya donor lebih mudah. Yang menjadi persoalan adalah
bagaimana upaya maksimal agar transplantasi tersebut tidak mendatangkan reaksi
penolakan. Sehingga niat membantu mempertahankan hidup bagi resipien dapat
berlangsung dengan baik. Adapun tujuan dari transplantasi tak lain adalah sebagai
pengobatan dari penyakit karena islam sendiri memerintahkan manusia agar setiap
penyakit diobati,karena membiarkan penyakit bersarang dalam tubuh dapat
mengakibatkan kematian,sedangkan membiarkan diri terjerumus dalam kematian
(tanpa ikhtiyar) adalah perbuatan terlarang, sebagai mana firman Allah dalam
Al-qur’an Surat An-Nisa’ ayat 29 “Dan jangan lah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu” , maksudnya apabila sakit maka
manusia harus berusaha secara optimal untuk mengobatinya sesuai
kemampuan,karena setiap penyakit sudah ditentukan obatnya,maka dalam hal ini
Transplantasi merupakan salah satu bentuk pengobatan.Namun persoalannya adalah
bagaimana hukum mendonorkan organ tubuh untuk transplantasi tersebut ,baik dari
yang masih hidup maupun dari organ tubuh manusia yang telah meninggal
Pandangan Agama Islam Terhadap Transplantasi Ginjal Donor Jenazah
Masalah transplantasi ginjal donor jenazah tidak diatur dalam agama
islam secara detail. Karena itu, untuk menempatkan status hukumnya merupakan
kerja kreatif intelektual (ijtihadiyah) manusia.
Dalam menentukannya dikembalikan pada subtansi ajaran agama yang
bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan. Diatas telah disinggung bahwa
prinsipnya, menyakiti seseorang baik yang masih hidu atau sudah meninggal
dilarang. Ini sebagai hukum pokok (‘azimah)nya. Akan tetapi situasi dan
kondisi berada pada keadaan darurat (emergency) maka ketentuan hukum
yang prinsip dapat berubah, Allah menegaskan dalam Alquran :
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا
اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atas kamu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS.
Al-An’am, 6: 119)
إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Karena itu transplantasi ginjal donor jenazah dapat dilakukan
dengan pertimbangan kemaslahatan dan kemadharatan. Untuk menentukan sejauh mana
kemaslahatan dan kemadharatan transplantasi ginjal donor jenazah, ada beberapa
pertimbangan berikut.
Pertama, merusak tanpa tujuan kemaslahatan adalah dilarang. Namun
apabila merusak dengan tujuan kemaslahatan yang lebih besar dibolehkan. Ibnu
Qudamah (w. 620 H/1223 M) dalam al-Mughny mengatakan “ boleh membedah perut si
mayit untuk mengeluarkan sesuatu yang berharga kepunyaan orang lain yang
ditelannya waktu hidup, demi keselamatan harta orang yang masih hidup.”
Kedua, dalam pertimbangan manfaat, seseorang yang masih hidup lebih
berhak untuk memanfaatkan anggota tubuhnya. Karena itu ia wajib memelihara dan
mempertahankan kesehatannya. Bagi si mati, secara lahiriyah organ tubuhnya
tidak bermanfaat lagi. Sementara ada penderita yang masih hidup sangat
membutuhkannya. Jika transplantasi tidak dilakukan, akan membahayakan dirinya.
Disini berlaku kaidah “ maslahat yang lebih besar didahulukan dari pada
maslahat yang lebih kecil” . Atau “ketika terjadi dua maslahat maka wajib
memilih madharat yang lebih kecil.”
Dengan kata lain, madharat mengambil ginjal si mati yang ginjalnya
tidak lagi dimanfaatkan lebih kecil, dibanding madharat orang yang masih hidup
yang ginjalnya tidak lagi dapat difungsikan.
Ketiga, organ tubuh bagi pemiliknya adalah hak pakai (ikhtishas).
Ia lebih berhak atas organ tubuhnya, tetapi juga bisa memberikan atau
mengizinkannya kepada orang lain sepanjang tidak merusak dirinya. Dalam hal
donor ginjal, bisa didahului dengan maksiat dan disaksikan oleh ahli waris atau
keluarganya, atau kalau tidak, dikembalikan pada prinsip mendahulukan
kemaslahatan yang lebih besar.[3]
Dalam agama islam ada beberapa kaidah, diantaranya : al-adlararu yuzal (kemadharatan
harus dihilangkan), al-dlarurat tubihu al-mahdlurat (keadaan darurat
atau emergency menyebabkan bolehnya (dilakukan) ssesuatu yang dilarang), al-masyaqqat
tajlib al-taisir (keadaan yang memberatkan membawa kemudahan), al-maslahatul
‘ammah muqaddaman ‘ala al-maslahat al-khashshah (kemaslahatan umum
didahulukan dari pada kemaslahatan khusus), dan lainnya.