This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 18 Juni 2011

KONSEP ZUHUD HASAN AL-BASHRI

Hasan Al-Bashri atau Abu Sa’id Al-Hasan ibn Abi-Al-Hasan Yasar Al-Bashri dalam jajaran mistikus muslim dikenal sebagai seorang yang memiliki sikap spiritualitas yang tinggi dan kehidupan zuhud-nya yang menggugah hati menjadi referensi dan inspirasi bagi orang beriman dari masa ke masa.
Beliau dilahirkan di Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 21 Hijriah (642 M). Pernah menyusu pada Ummu Salmah, isteri Rasulullah S.A.W., ketika ibunya keluar melaksanakan suruhan beliau. Hasan Al-Bashri pernah berguru kepada beberapa orang sahabat Rasul S.A.W. sehingga beliau muncul sebagai ulama terkemuka dalam peradaban Islam. Hasan Al-Bashri meninggal di Basrah, Iraq, pada 110 Hijrah (728 M).
Hasan Al-Bashri dikenal memiliki kepribadian yang santun, ramah, penuh kasih, dan bersahaja. Nasihat-nasihat spiritualnya begitu mudah menembus kedalam hati para muridnya, karena beliau memang mampu tampil sebagai contoh ideal dari semua ajarannya. Baginya, nasihat dengan perbuatan jauh lebih efektif dibandingkan nasihat dengan kata-kata.
“Kunci Zuhud” di atas, merupakan jawaban Hasan Al-Bashri ketika beliau ditanya kenapa dia selalu tenang dalam menghadapi hidup dan sibuk bekerja serta sibuk beramal? Bahkan suatu ketika beliau pernah di tanya oleh sahabat Rasul Ali bin Abi Thalib dalam sebuah masjid di hadapan umum ” Hai anak muda” ! Aku hendak bertanya kepadamu mengenai dua perkara, jika kedua perkara itu dapat kamu jawab, kamu boleh meneruskan pembicaraanmu. Hasan Al-Bashripun mendekati Ali bin Abi Thalib dengan Tawadhu’, seraya berkata : ”silahkan bertanya, ya amir al-mu’minin, tentang dua perkara yang engkau maksudkan!” kemudian Ali bin Abi Thalib bertanya : ”jelaskan kepadaku, apa yang dapat menyelamatkan negara dan apapula yang dapat merusakkannya?” Hasan Al-Bashri menjelaskan : ” yang menyelamatkan agama adalah wara’ dan yang merusakkannya adalah tama’ . Ali bin Abi Thalib tampak sangat gembira mendengar penjelasan dari Hasan Al-Bashri, kemudian berkata : ” Penjelasanmu benar dan silahkan teruskan pembicaraanmu, orang semacam kamu ini layak berbicara di depan orang banyak.”
Selain itu Hasan Al-Bashri terkenal sebagai seorang tokoh terkemuka pada zamannya. Dia termasyhur sebagai seorang saleh dan pemberani. Dia terang-terangan membenci sikap para pejabat yang senang hidup berfoya-foya. Dia diakui sebagai seorang tokoh sufi besar dan orator ulung.
Banyak pengakuan yang menyatakan kebolehannya dalam menguasai ilmu agama, seperti pernah diungkapkan oleh Abu Qatadah : ”Bergurulah kepada syeikh ini (Hasan Al-Bashri). Saya sudah menyaksikannya sendiri tidak ada seorang tabi’in pun yang mampu menyamai ilmu para sahabat, kecuali syeikh ini (Hasan al-Bashri).” Kehebatan Hasan al-Bashri dalam ilmu tasawuf ditulis di dalam buku-buku tasawuf, seperti Qut al-Quluh karya Abu Thalib al-Makki, Tabaqat al-Kubra karya al-Sya’roni, Hilyah al-Auliya’ karya Abu Nu’aim dan lain-lain.
Hasan al-Bashri adalah zahid yang masyhur di kalangan tabi’in. Ajarannya yang berkaitan dengan kehidupan tasawuf selalu mengacu kepada sunah Nabi, bahkan dia yang mula-mula memperbincangkan berbagai masalah kehidupan tasawuf yang mengaitkannya dengan akhlak, hal ini dapat ditempuh dengan cara mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela.
Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, Hasan al-Bashri memilih kehidupan zuhud terhadap kehidupan duniawi. Dan senang bertawakkal, bersikap khauf (takut kepada Allah) dan raja’ (mengharap) rahmat-Nya. Dia tidak semata-mata takut kepada Allah, tetapi ketakutannya kepada Allah disertai dengan pengharapan akan rahmat-Nya.
Mengenai kehidupan zuhud ini, Hasan al-Bashri pernah mengatakan : ”Dunia adalah tempat bekerja bagi orang-orang yang diliputi perasaan tidak senang dan tidak memerlukannya, dan nafsu duniawi merasa bahagia bersamanya atau menyertai kehidupannya. Barang siapa menyenangi kehidupan duniawi dengan maksud memiliki dan mencintainya, maka dia dibuat menderita oleh kehidupan duniawi serta diantarkannya kepada derita yang tidak tanggung-tanggung beratnya.
Dalam kesempatan lain dia pernah berpesan : ”waspadalah terhadap kehidupan duniawi ini. Dia bagaikan ular nampaknya lembut tetapi bisanya mematikan. Jauhilah pesonanya. Kalau tidak, anda akan terjerat olehnya. Bukankah anda saksikan kefanaannya, dan anda ketahui bahwa anda akan berpisah dengannya ? tabahlah dalam menghadapinya, jalan anda menjadi lapang. Kian dia mempesonamu, kian waspadalah. Kenapa? Karena semakin anda terpesona dan takluk kepadanya, maka dengan serta-merta dia akan menghempaskanmu ke jurang nista. Ingatlah, waspadalah pada kehidupan duniawi, karena pesonanya tidak bisa dipercaya, disitulah anda terancam kesenangan semu, bencana datang tiba-tiba, duta nestapa dan nasib malang datang menjelma. Pesona kehidupan duniawi tidak berdampak bagi insan yang bijak, tetapi berbahaya bagi insan yang senang bersamanya, karena itu waspadalah terhadap bencana kehidupan duniawi, dan yakinlah akan akibatnya.”
Al-Taftazani menjelaskan, konsep zuhd Hasan Al-Bashri berdasarkan rasa takut yang mendalam kepada Allah swt. Sehubungan dengan hal ini As-Sya’rani di dalam kitabnya At-Thabaqat mengungkapkan ”Dia (Hasan Al-Bashri) diliputi penuh ketakutan sehingga neraka baginya hanyalah seakan-akan diciptakan untuk dirinya seorang.
Maka dari itu dia selalu dijunjung tinggi dan dimuliakan oleh sufi-sufi karena dia sering membimbing hal-hal musykil yang berkenaan dengan ilmu agama praktis (‘ilm-i mu’amalat). Aku telah membaca dalam hikayat-hikayat bahwa seorang badui datang kepadanya dan bertanya mengenai kesabaran (shabr). Dia menjawab : “kesabaran ada dua macam, pertama, kesabaran dalam kemalangan dan penderitaan. kedua, kesabaran mengendalikan diri dari hal-hal yang telah tuhan perintahkan agar kita menjauhinya dan yang dilarang bagi kita untuk mendapatkan atau melakukannya. “Orang Badui itu berkata : “Engkau adalah seorang zuhud, aku tak pernah melihat seseorang yang lebih zuhud daripadamu. “ Wahai Badui,” seru Hasan, “kezuhudanku tak lain kecuali keinginan dan kesabaranku tak lain kecuali hilangnya kekuatan. ”Orang Badui itu minta supaya dia menerangkan ujaran ini, “karena (katanya) engkau telah mengguncangkan kepercayaanku, “Hasan menjawab : “Kesabaranku dalam kemalangan dan kepasrahanku menyatakan rasa takutku akan api neraka, dan inilah hilangnya kekuatan (jaza’), dan kezuhudanku di dunia ini adalah mendamkan akhirat, dan ini adalah hakikat keinginan, betapa utamanya orang yang tak berpikir tentang kepentingan dirinya sendiri, sehingga kesabarannya adalah demi Allah semata, bukan untuk tujuan membawa dirinya ke surga. Ini adalah tanda ketulusan sejati.” Dan diriwayatkan bahwa dia berkata : bergaul dengan orang yang keji menimbulkan kecurigaan akan yang baik.” Ujaran ini sangat sesuai bagi umat dewasa ini, yang semuanya tak percaya kepada sahabat-sahabat Tuhan yang mulia. Alasan ketidakpercayaan mereka ialah bahwa mereka bergaul dengan sufi-sufi palsu, yang hanya menampilkan bentuk-bentuk lahiriah sufi belaka, dan memandang tindakan-tindakan mereka sebagai dibuat-buat, mulut mereka palsu, telinga mereka mendengarkan seloka-seloka kosong, mata mereka mengikuti kesenangan dan birahi, dan hati mereka terpana pada yang haram atau yang syubhat, mereka mengkhayalkan bahwa calon-calon sufi bertindak dengan cara yang sama, atau bahwa inilah doktrin sufi-sufi itu sendiri, padahal sufi-sufi senantiasa menaati Tuhan, dan berbicara dengan firman Tuhan, dan menjaga cinta kepada Tuhan dalam hati mereka dan suara (sama’) Tuhan dalam telinga mereka, dan dan keindahan tafakur Ilahi pada mata mereka, dan seluruh pikiran mereka dipusatkan untuk memperoleh rahasia-rahasia suci di tempat penglihatan ghaib (visi) dianugerahkan kepada mereka. Jika orang-orang durhaka tampak ditengah-tengah mereka dan melakukan praktik mereka, kejahatan haruslah dikembalikan kepada orang-orang yang melakukannya. Seseorang yang bergaul dengan orang-orang keji dari suatu komunitas, selalu berbuat demikian karena kekejiannya sendiri, sebab dia akan bergaul dengan orang yang baik jika telah ada kebaikan pada dirinya.
Namun kezuhudan Hasan Al-Bashri ini sedikit terpengaruh oleh konsep zuhud Zainal Abidin yakni zuhud menurutnya adalah “merasa asing di dunia”. Ia mengatakan, “Kehilangan segala yang dicintai adalah perasaan asing itu.” Perasaan asingnya itu disebabkan kesedihannya atas meninggalnya sang ayah, Husain Radhiyallahu Anhu sebagai syahid. Karena itulah, keterasingan merupakan salah satu pilar utama tasawuf mereka. Ajaran syi’ah moderat (baca: bukan syi’ah ekstrem. penj) adalah salah satu faktor penting yang mendorong perkembangan sikap zuhud menjadi pilar tasawuf. Syi’ah moderat mempunyai kemiripan dengan kaum Ahlus Sunnah dalam hal mencintai Ahli Bait atas dasar kesedihan atas meninggalnya Sayyidina Husain.
Salah satu perkataan Zainal Abidin yang di dasarkan dari ajaran Rasulullah alaihi wa sallam berbunyi : “Ya Allah, milik-Mu-lah hati dan lidahku. Dalam genggaman-Mu terletak keselamatanku. Engkau mengetahui apa yang aku rahasiakan dan apa yang aku nampakkan. Jauhkanlah hatiku dari kemarahan. Jagalah lidahku dari ucapan kotor.
Bebaskanlah nurani dan badanku dari keterikatan dengan nafsu. Ikatlah apa yang kurahasiakan dengan pengawasan-Mu. Jadikanlah apa yang aku lakukan secara terang-terangan sebagai bentuk ketaatan pada-Mu. Karuniaila aku badan, rohani dan hati yang melangit. Karuniailah aku dengan cita-cita untuk bisa bersama-Mu. Karuniailah aku rasa cinta yang benar kepada-Mu.” Dalam doanya ini, Zainal Abidin memohon kepada Allah agar membebaskan dirinya dari ketertarikan dengan dunia. Ia memohon agar dirinya selalu sadar agar pengawasan Allah. Ia memohon kepada Allah agar setiap amal perbuatannya itu dilakukan sebagai bentuk ketaatan pada-Nya. Sikap Zainal Abidin ini kelak berpengaruh pada tasawuf yang dipraktekkan Imam Ghazali. Atas pengaruh Zainal Abidin, tasawuf Al-Ghazali menyelaraskan antara yang lahiriah dengan yang batiniah. Selain itu, teori Al-Ghazali tentang ma’rifat juga dipengaruhi oleh Zainal Abidin.
Kemudian pengaruh Zainal Abidin ini nampak dalam wujud kesedihan orang yang takut. Abu Thalib Al-Makki mengatakan, “ jika Hasan Al-Bashri datang, seakan-akan ia baru datang dari kuburan kekasihnya. Jika ia sedang duduk, maka ia duduk bak seorang tawanan yang hendak dipenggal lehernya. Jika ia mengingat neraka, maka ia merasa seakan-akan neraka itu hanya diciptakan untuknya.”
Jika kata zuhud, takwa, dan wara’ disebut-sebut orang, maka nama Hasan Al-Bashri disebut-sebut sebagai pendiri “sekolah zuhud”. Sikap zuhudnya ini diilhami oleh ketakutannya pada Allah dan pengawasan-Nya. Ia takut pada fitnah-fitnah dunia dengan cara menghadap Allah dan takut pada-Nya.
Dari penjelasan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa sikap zuhud Hasan Al-Bashri bermuara pada sikap takut dan sedih. Ketakutan dan kesedihan Hasan Al-Bashri muncul secara spontan karena keimanannya yang benar akan janji dan ancaman Allah, bukan ketakutan dan kesedihan pura-pura dan dibuat-buat. Pada masa selanjutnya, para sufi mengambil pelajaran dari Hasan Al-Bahsri dan menjadikan pendapat-pendapatnya sebagai dasar madzhab mereka dalam bertasawuf.